Dua Hari Di Alam lelembut Dewi Lanjar

Penulis : IDRIS NAWAWI
Penulis sekaligus adalah pelaku langsung peristiwa yang tidak masuk akal ini. Selama dua hari dia tak sadarkan diri. Sementara itu, dia merasa telah berada di alam lelembut Dewi Lanjar. Bagaimana hal musykil ini bisa terjadi...?

Pagi itu, Selasa, 3 Mei 2005. Aku mengajak temanku pergi ke Pantai Slamaran yang berada di Kabupaten Pekalongan. Bukan untuk berdarmawisata, tapi untuk menjalankan sebuah ritual dari guruku. Sesuai dengan pesan dan ajaran guruku, sifat ritual yang aku lakukan ini memang harus selalu berendam di air laut tatkala menjalankannya.

Pantai Slamaran sendiri begitu cocok dijadikan sebagai tempat ritual, sebab sejak dulu pantai ini sudah aku kenal, tatkala aku sering main ke rumah saudaraku yang berada di Panjang Wetan, Pekalongan. Dengan alasan itulah aku menjadikannya sebagai ajang ritual khususku, yang memang sangat aku rahasiakan.

Di samping air laut serta pasirnya yang bersih, masyarakat di sekitar pantai ini pun sangat ramah tamah kepada setiap orang yang berkunjung. Karena itu tak heran jika kawasan pantai ini selalu dipadati pengunjung, terutama di hari libur.

Dengan alasan menghindari keramaian, maka aku sengaja memilih hari Selasa untuk datang ke pantai legendaris itu. Aku pun memililihnya pas tengah hari, ketika panas matahari menyengat, dan membuat orang enggan berada di sekitar pantai.

Ketika itu pas pukul sebelas siang aku dan temanku sampai di tempat tujuan. Angin laut yang semilir seolah menyambut kedatangan kami. Teriknya sinar mentari pun langsung terasa memanggang tubuh kami. Suasana pantai tampak sangat sepi. Hanya ada beberapa orang nelayan yang lalu lalang, atau sibuk merajur jaring.

Ombak datang silih berganti menambah indahnya Pantai Slamaran di siang nan terik itu. Air laut tampak berkilauan diterpa sinar mentari. Sambil menghilangkan rasa lelah karena perjalanan jauh, kami mampir di sebuah warung makan sambil menanyakan rumah kontrakan yang bisa disewa barang beberapa hari. Beruntung, si pemilik warung memberi tahu keberadaan rumah yang memang biasa dikontrakkan.

Setelah aku mendapat informasi tentang rumah kontrakan itu, aku langsung mendatangi pemiliknya. Tawar menawar pun terjadi dan akhirnya aku jadi mengontrak rumah tersebut.

Sesudah ditunjukkan tempat kontrakannya, aku jadi kaget. Kontrakan itu hanya sebuah bilik dari bambu tanpa kamar dan di dalamnya sudah banyak orang sebelum kami datang. Yang membuatku sangat kesal, laki-laki dan perempuan bercampur jadi satu di rumah sederhana itu.

Sialan! Aku memaki sendiri. Pikirku, sudah mahal sekali bayarnya, tempat hanya bilik seperti ini, dan orangnya juga sudah berjubel. Karena telanjur, aku pun harus menerimanya dengan hati mendongkol. Namun, lain kali tentu saja aku harus lebih berhati-hati.

Sambil menekan kejengkelan, aku bersama temanku aku langsung berbaur dengan orang-orang yang semula tidak aku ketahui apa maksudnya berkumpul di gubuk tersebut. Namun, dari beberapa obrolan mereka yang sempat terdengar, aku akhirnya jadi tahu semuanya. Yang punya kontrakan gubuk reot itu ternyata adalah juru kunci yang konon bisa mencari pinjaman dana gaibnya Dewi Lanjar. Dan, orang-orang tersebut berkumpul adalah untuk kepentingan yang sangat nyeleneh ini.

Aku dan temanku hanya geleng-geleng kepala. Namun yang tak habis kupikirkan, beberapa di antara mereka ada yang menyebut dirinya pernah berhasil dalam ritual gaib itu. Mungkinkah? Pertanyaan ini sungguh tak dapat aku pecahkan.

Tanpa mempedilukan aktivitas orang-orang itu, malam harinya, sekitar pukul 11.30 wib, dengan ditemani kawanku, aku mulai melakukan ritual yakni dengan berendam di pinggir Pantai Slamaran. Dinginnya air laut sangat terasa ke seluruh tubuhku. Ombak laut silih berganti menerpa sampai ke wajahku.

Semakin malam ombak kian bertambah besar. Air pun mulai pasang. Namun, kupertahankan posisiku agar tak oleng dari posisi duduk semula yang membentuk sikap bersemedi. Namun, diluar dugaan ombak laut semakin besar, dan air pasang kian meninggi. Dadaku terasa sesak akibat silih bergantinya ombak yang menerjangku.

Lama kelamaan kepalaku pusing, pandanganku pun berkunang. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. Entahlah, mungkin aku tenggelam diseret ombak dan air pasang yang kian meninggi. Yang pasti, di saat aku tak sadarkan diri, seolah-olah aku dijemput dua orang yang bertubuh tinggi kekar dengan seragam ala prajurit keraton.

Kejadiannya begitu cepat. Kedua orang prajurit itu membawaku masuk ke sebuah istana yang sangat megah. Di dalam istana yang penuh pernak-pernik barang antik, ratusan prajurit dan dayang-dayang menyambutku dengan senyum penuh keramah-tamahan. Setelah memasuki beberapa ruangan dan melewati barisan prajurit, hulubalang, serta dayang-dayang yang seluruhnya seperti takjim padaku, akhirnya aku sampai dis ebuah ruangan yang jauh lebih indah dari yang lainnya. Di tempat inilah aku dihadapkan kepada sosok yang disapa sebagai Ibu Ratu. Dian adalah wanita yang sangat cantik dengan tubuh sentosa. Penampilannya terlihat sangat agung dengan mahkota bertatahkan intan berlian yang bertengger indah di kepalanya.

Kharisma serta kelembutan nada bicara Ibu Ratu seakan membuat seisi istana patuh dan sangat menghormatinya. Begitu pun yang kurasakan. Sekujur tubuhku serasa merinding saat mendengar nada suaranya yang merdu bak buluh perindu.

Setelah menghaturkan sembah ke Ibu Ratu, dua prajurit tadi mengajakku keliling istana. Dari satu tempat ke tempat yang lain.

Di tengah jalan aku bertemu dengan dua gadis cantik yang kemudian kuketahui bernama Sri Lorenza dan Sri Lopaka. Mereka berdua pun akhirnya ikut mendampingku jalan-jalan mengeliling berbagai tempat nan permai.

Akhirnya, tibalah aku bersama empat orang lainnya ke sebuah bangunan yang dikelilingi oleh sebuah sungai dengan air gemerlap. Setiap empat penjuru sungai ini terdapat satu jembatan menuju pintu masuk.

Saat akan melewati salah satu jembatannya, aku sangat terkejut. Betapa tidak! Yang menjadi pijakan jembatan tersebut bukan aspal atau bahan kayu lainnya, melainkan tubuh orang-orang yang diikat kepala serta kakinya. Mereka dijejerkan saling berlawanan arah, sehingga terhampar sedemikian rupa. Yang membuatku terkejut, semua orang yang menjadin alas jembatan itu masih dalam keadaan hidup.

Bergidik dan nger aku dibuatnya, hingga aku tak sanggup meneruskan langkahku. Melihat keterkejutanku, Sri Lorenza cepat-cepat memberi isyarat padaku untuk meneruskan perjalanan sampai ke bangunan yang ada di seberang sungai. Karena aku masih berdiri terpaku, gadis berlesung pipit itu akhirnya mengapit tanganku dan segera mengajak melangkah. Setelah itu, kami berlima menapakai jembatan yang terbuat dari anyaman tubuh manusia itu.

Seperti tak ada masalah, keempat orang itu menginjak satu demi satu orang-orang yang menjadi alasan jembatan, seakan mereka tak punya rasa kasihan sedikitpun. Dengan risih aku pun terus mengikuti langkah mereka. Ketika itulah dengan jelas aku mendengar dari mulut orang-orang itu jeritan yang sangat histeris. Ya, mereka menahan rasa sakit yang tak terperi. Ini juga jelas terlihat dari raut muka mereka yang tampak sedemikian menderita.

Sesampainya di ujung jembatan, aku menghentikan langkahku. Dengan sedikit memberanikan diri aku bertanya pada Sri Lorenza; "Sri Lorenza, apa yang menjadi penyebabnya hingga mereka semua diikat dan disiksa seperti itu?".

"Mas, itu semua orang-orang serakah dimasa hidupnya. Mereka semua minta kekayaan pada Ibu Ratu dan ibunda pun memberikannya. Tetapi, setelah mereka jaya, semua tak mengakui pemberian tersebut. Karena itu mereka akhirnya disiksa seperti itu," jelas Sri Lorenza.

Aku terbengong-bengong mendengar, sampai akhirnya gadis itu mengajakku, "Bila kau ingin tahu segalanya, ayo masuk ke dalam bangunan itu!"

Aku hanya mengikuti saja. Kami sama-sama melangkah ke arah bangunan yang dimaksud Sri Lorenza. Di depan pintunya kulihat dua penjaga yang bertampang brewok dan sangar. Begitu melihat kedatangan kami, mereka langsung membuka daun pintu. Terdengar suara berderit yang memecah keheningan. Lalu, apa yang terjadi?

Aku benar-benar tak kuat melihat pemandangan yang ada di dalam bangunan itu. Ratusan orang disiksa dengan sadisnya. Tubuh mereka tampak berdarah-darah, bahkan ada yang bola matanya pecah. Bekas cambuk tergores diseluruh badan mereka, darah menetes di sela luka menganga.

"Sri Lorenza, mengapa mereka disiksa seperti itu? Apa pula kesalahan mereka hingga tiada maaf untuk memperbaikinya?" Dengan suara gemetar aku kembali bertanya.

"Sudah terlambat bagi mereka untuk meminta maaf. Semasa hidupnya, mereka semua pemuja Ibunda Dewi Lanjar. Setelah ibunda memberi kekayaan, mereka semua meninggalkan kewajiban ibadah kepada Allah, berhaji, serta bersedekah. Mereka hanya mau enaknya saja tanpa mau bekerja, tanpa membantu orang susah, inginnya selalu berfoya-foya hingga ibunda marah dan menyiksanya seperti yang kau lihat saat ini," Siri Lorenza menjelaskan.

Disaat aku sedang berbincang dengan Sri Lorenza, tiba-tiba dari kerumunan orang yang tengah disiksa, datang seorang nenek-nenek dengan badan bersimbah darah, serta baju yang robek-robek akibat cambukan para algojo.

Nenek itu mendekatiku sambil berkata, "Nak, tolonglah. Nenek sudah tak kuat. Nenek pingin mati saja, Nenek jera minta pesugihan. Tolonglah, Nak!"

Aku hanya tergagap-gagap mendengar permohonan si nenek. Sebelum sempat kubuka mulutku, tiba-tiba datang seorang algojo bertubuh perkasa yang langsung menarik paksa rambut si nenek menuju tempat penyiksaan. Nenek itu terjungkal. Tangisan serta raungannya membuatku tak sadarkan diri lagi. Ya, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap gulita. Tanah yang kupijak pun seperti bergetar hebat, seolah ada gempa....

Apa yang nampak di depan mataku selanjutnya sungguh sesuatu yang sulit diterima akal sehat. Setelah aku siuman, kulihat di sekelilingku telah banyak orang dengan raut muka cemas memandangku yang terbaring lemah.

"Ada apa ini?" aku bertanya pada mereka.

"Alhamdulillah, kau sudah sadar!" kata Marwan, temanku yang selalu setia menyertaiku perjalananku.

"Memangnya aku ini kenapa?" aku kembali bertanya.

"Kau sudah tak sadarkan diri selama dua hari dua malam!" jawab Marwan.

Begitu kagetnya mendengar jawaban Marwan, sampai aku terduduk sambil memandang ke sekeliling. Aneh, aku tidak lagi berada di depan gedung tempat penyiksaan itu, melainkan di sebuah rumah yang sangat sederhana. Aku tak habis pikir, kurasa baru dua jam aku dibawa bangsa halus, tapi Marwan bilang sudah dua hari aku tak sadarkan diri.

Menurut Marwan, malam itu dia melihatku tenggelam. Karena itu dia segera mencebur ke luat dan berusaha menolongku. Beruntung, Marwan dapat menyeret tubuhku ke darat. Tapi, sejak kejadian itu aku tak sadarkan diri sampai dua hari lamanya.

Apa yang terjadi menimpaku di Pantai Slamaran, sungguh kenyataan yang sulit diterima akal sehat. Tapi, bagiku ini merupakan pengalaman yang sangat berharga sekali, yang sekaligus menjadi indikasi bahwa memang terdapat ruang gaib bagi mereka yang ingin melakukan pesugihan.
Akhirnya, semoga kiranya ceritaku ini bermanfaat. Pesanku, hendaknya kita selalu berhati-hatilah dalam menjalankan sebuah kehidupan nan fana ini.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel