Agustinus Paryono : Kena Boikot Setelah Bertauhid
Minggu, Oktober 07, 2012
Di lereng Gunung Merbabu, tepatnya di Desa Sawangan, Magelang, Jawa Tengah, aku dilahirkan. Orangtuaku memberi nama yang sangat sederhana, Paryono. Aku tidak tahu apa arti nama itu. Mungkin pemberian nama itu sekedar tanda agar aku mudah dibedakan dari anak-anaknya yang lain.
Hawa pegunungan yang sejuk membuatku tumbuh menjadi bocah yang akrab dengan alam. Aku sering menuruni jurang curam dan bukit yang terjal bersama teman-teman sepermainan. Di desa yang penuh dengan ketenangan itu, ada dua agama yang dianut oleh penduduk kampung, Islam dan Katolik. Keluargaku termasuk penganut agama Katolik yang fanatik. Seperti lazimnya umat Katolik yang betul-betul ingin dianggap sebagai penganut gereja, maka harus menjalani pembaptisan. Begitu pula dengan diriku, setelah pembaptisan aku mendapat nama persembahan gereja, yaitu Agustinus.
Bagi keluargaku, hidup dengan ajaran gereja adalah mutlak. Karena itu adalah manifestasi rasa iman dan hidupku berdasarkan ajaran-ajaran Kristus. Orangtuaku selalu berpesan agar hati-hati bergaul dengan pemuda Islam di desaku. Kata ayah, "Pemuda Islam itu sering mempengaruhi orang lain, apalagi yang tidak beriman." Dalam setiap pergaulan, aku selalu menjaga jarak dengan orang-orang Islam agar mereka tidak mempengaruhiku.
Walaupun begitu, aku mempunyai seorang teman muslim yang sangat akrab, namanya Suyatno. Kami sering berbincang menganai berbagai hal dalam kehidupan. Suatu kali kami memperbincangkan keimanan dalam beragama.
Sebagai pelajar SMA Muhammadiyah, Suyatno pun membela keimanan Islam. Untuk menguatkan pendapatnya, ia mengeluarkan buku tentang akidah. Aku merasa jengkel, marah dan sakit hati setelah membaca buku yang berlawanan dengan sisitem kepercayaanku.
Menurut buku tersebut, Allah SWT adalah satu, Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Bila ada orang yang menyekutukan-Nya, maka berarti telah musyrik. Hukuman bagi orang musyrik sangat berat, sebab itu merupakan dosa besar yang tidak terampuni.
Merah telingaku dan naik darahku, setelah mengetahui penjelasan sedemikian rupa. Tapi, karena aku tak memiliki argumentasi yang kuat, aku hanya membisu. Ternyata ayah benar, orang Islam itu memang penghasut, demikian pikirku saat itu.
Setelah peristiwa itu, aku semakin menjaga jarak terhadap orang-orang Islam agar kepercayaanku terhadap ajaran Katolik tidak menjadi lemah. Tapi aku berusaha tetap bersikap baik kepada Suyatno, dan menahan rasa jengekelku padanya.
Hidayah itu Datang
Rupanya Tuham mempunyai rencana lain terhadap hamba-Nya. Aku yang berusaha membatasi pembicaraan dan pergaulan dengan orang-orang Islam atau mereka yang tidak seiman, malah jatuh hati pada seorang muslimah bernama Pariyem. Aku memberanikan diri untu meminang Pariyem dan berniat mengajak Pariyem menikah di gereja seperti yang dikehendaki orangtuaku. Tetapi rupanya Pariyem keberatan. Ia tidak bisa lepas keimanannya demi sebuah perkawinan.
Hubunganku dengan Pariyem menjadi tidak jelas. Dan ini membuatku bingung. Kuakui bahwa aku benar-benar mencintainya dan sulit melupakannya, seperti yang diinginkan orangtuaku. Menurut mereka, bila Pariyem tidak mau menikah di gereja, aku harus meninggalkannya.
Dalam kekalutan itu, aku menghubungi Suyatno untuk membicarakan masalahku dengan Pariyem. Tidak seperti dulu, kini aku mendengarkan penjelasan Suyatno tentang Islam dengan sungguh-sungguh, dan bahkan merenungkannya. Sejak saat itu aku mulai membuka bacaan-bacaan Islam dan Kristen Katolik.
Akhirnya aku memutuskan untuk menganut agama Islam dengan Ikhlas. Pernikahanku dengan Pariyem dilaksanakan di KUA. Keluargaku marah, dan aku diboikot secara kekeluargaan. Terus terang, aku menjadi menderita. Tapi aku harus kuat menanggungnya, karena keputusanku masuk Islam sudah kupikir masak-masak.
Dalam keprihatinan itu aku tetap berusaha menjadi muslim sekaligus kepala rumah tangga yang baik. Beruntunglah saudara-saudara muslim turun tangan ikut merasakan kesulitan dan berusaha menghiburku agar tabah menghadapi cobaan ini. Alhamdulillah, akhirnya dengan penuh kesabaran, aku mendapatkan rahmat Allah, orangtuaku mau menerimaku kembali. Meski Allah belum membukakan pintu hidayah bagi mereka.
Kebahagiaan itu semakin lengkap dengan datangnya dua buah hati kami yang lucu dan cerdas. Mereka mau belajar mengaji di masjid desa bersama teman-temannya. Aku bahagia anakku dapat mempelajari Al-Quran sejak dini. Tidak seperti ayah mereka yang baru mengenal Al-Quran setelah dewasa. Kebahagiaan, ketentraman dan ketenangan, itulah yang kurasakan saat ini. Dan kebahagiaan ini akan lebih lengkap bila orangtuaku mau memeluk agam yang haq ini. Insya Allah.[Hadi Purwanto/Albaz]
Hawa pegunungan yang sejuk membuatku tumbuh menjadi bocah yang akrab dengan alam. Aku sering menuruni jurang curam dan bukit yang terjal bersama teman-teman sepermainan. Di desa yang penuh dengan ketenangan itu, ada dua agama yang dianut oleh penduduk kampung, Islam dan Katolik. Keluargaku termasuk penganut agama Katolik yang fanatik. Seperti lazimnya umat Katolik yang betul-betul ingin dianggap sebagai penganut gereja, maka harus menjalani pembaptisan. Begitu pula dengan diriku, setelah pembaptisan aku mendapat nama persembahan gereja, yaitu Agustinus.
Bagi keluargaku, hidup dengan ajaran gereja adalah mutlak. Karena itu adalah manifestasi rasa iman dan hidupku berdasarkan ajaran-ajaran Kristus. Orangtuaku selalu berpesan agar hati-hati bergaul dengan pemuda Islam di desaku. Kata ayah, "Pemuda Islam itu sering mempengaruhi orang lain, apalagi yang tidak beriman." Dalam setiap pergaulan, aku selalu menjaga jarak dengan orang-orang Islam agar mereka tidak mempengaruhiku.
Walaupun begitu, aku mempunyai seorang teman muslim yang sangat akrab, namanya Suyatno. Kami sering berbincang menganai berbagai hal dalam kehidupan. Suatu kali kami memperbincangkan keimanan dalam beragama.
Sebagai pelajar SMA Muhammadiyah, Suyatno pun membela keimanan Islam. Untuk menguatkan pendapatnya, ia mengeluarkan buku tentang akidah. Aku merasa jengkel, marah dan sakit hati setelah membaca buku yang berlawanan dengan sisitem kepercayaanku.
Menurut buku tersebut, Allah SWT adalah satu, Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Bila ada orang yang menyekutukan-Nya, maka berarti telah musyrik. Hukuman bagi orang musyrik sangat berat, sebab itu merupakan dosa besar yang tidak terampuni.
Merah telingaku dan naik darahku, setelah mengetahui penjelasan sedemikian rupa. Tapi, karena aku tak memiliki argumentasi yang kuat, aku hanya membisu. Ternyata ayah benar, orang Islam itu memang penghasut, demikian pikirku saat itu.
Setelah peristiwa itu, aku semakin menjaga jarak terhadap orang-orang Islam agar kepercayaanku terhadap ajaran Katolik tidak menjadi lemah. Tapi aku berusaha tetap bersikap baik kepada Suyatno, dan menahan rasa jengekelku padanya.
Hidayah itu Datang
Rupanya Tuham mempunyai rencana lain terhadap hamba-Nya. Aku yang berusaha membatasi pembicaraan dan pergaulan dengan orang-orang Islam atau mereka yang tidak seiman, malah jatuh hati pada seorang muslimah bernama Pariyem. Aku memberanikan diri untu meminang Pariyem dan berniat mengajak Pariyem menikah di gereja seperti yang dikehendaki orangtuaku. Tetapi rupanya Pariyem keberatan. Ia tidak bisa lepas keimanannya demi sebuah perkawinan.
Hubunganku dengan Pariyem menjadi tidak jelas. Dan ini membuatku bingung. Kuakui bahwa aku benar-benar mencintainya dan sulit melupakannya, seperti yang diinginkan orangtuaku. Menurut mereka, bila Pariyem tidak mau menikah di gereja, aku harus meninggalkannya.
Dalam kekalutan itu, aku menghubungi Suyatno untuk membicarakan masalahku dengan Pariyem. Tidak seperti dulu, kini aku mendengarkan penjelasan Suyatno tentang Islam dengan sungguh-sungguh, dan bahkan merenungkannya. Sejak saat itu aku mulai membuka bacaan-bacaan Islam dan Kristen Katolik.
Akhirnya aku memutuskan untuk menganut agama Islam dengan Ikhlas. Pernikahanku dengan Pariyem dilaksanakan di KUA. Keluargaku marah, dan aku diboikot secara kekeluargaan. Terus terang, aku menjadi menderita. Tapi aku harus kuat menanggungnya, karena keputusanku masuk Islam sudah kupikir masak-masak.
Dalam keprihatinan itu aku tetap berusaha menjadi muslim sekaligus kepala rumah tangga yang baik. Beruntunglah saudara-saudara muslim turun tangan ikut merasakan kesulitan dan berusaha menghiburku agar tabah menghadapi cobaan ini. Alhamdulillah, akhirnya dengan penuh kesabaran, aku mendapatkan rahmat Allah, orangtuaku mau menerimaku kembali. Meski Allah belum membukakan pintu hidayah bagi mereka.
Kebahagiaan itu semakin lengkap dengan datangnya dua buah hati kami yang lucu dan cerdas. Mereka mau belajar mengaji di masjid desa bersama teman-temannya. Aku bahagia anakku dapat mempelajari Al-Quran sejak dini. Tidak seperti ayah mereka yang baru mengenal Al-Quran setelah dewasa. Kebahagiaan, ketentraman dan ketenangan, itulah yang kurasakan saat ini. Dan kebahagiaan ini akan lebih lengkap bila orangtuaku mau memeluk agam yang haq ini. Insya Allah.[Hadi Purwanto/Albaz]