Hukum Menuduh Berzina (2-3)
Senin, Oktober 01, 2012
Dari Anas bin Malik RA, ia berkata, Li’an pertama yang terjadi dalam Islam (disebabkan), Syarik bin Sahma’ dituduh berzina oleh Hilal bin Umayyah dengan isterinya (Hilal), maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “(Tunjukkan) bukti, bila tidak, maka hadd (hukuman cambuk) di punggungmu.” (Hadits ini dikeluarkan Abu Ya’la, para periwayatnya adalah para periwayat Tsiqat. Di dalam shahih al-Bukhari juga terdapat lafazh sepertinya dari hadits Ibn Abbas RA)
Derajat Hadits
Derajat hadits ini Shahih. Abu Ya’la berkata, “Para periwayatnya adalah para periwayat Tsiqat. Hadits ini memiliki Syahid (riwayat penguat) dari hadits Ibn Abbas RA di dalam shahih al-Bukhari yang di dalam shahih Muslim berasal dari hadits Anas.
Pelajaran Hadits
1. Secara hukum asal, siapa yang menuduh berzina terhadap laki-laki Muhshan (yang sudah beristeri), maka maka ia harus mengajukan bukti. Bukti dalam kasus zina adalah berupa persaksian empat orang laki-laki; bila tidak mengajukan bukti ini, maka orang tersebut (si penuduh) harus dikenakan hukum Hadd Qadzf sebanyak 80 kali cambuk. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka orang menuduh itu) delapan puluh kali dera…” (QS.an-Nur:4)
2. Terkecuali dari makna umum ayat di atas, kasus seorang laki-laki (suami) menuduh isterinya berzina; maka ia harus mengajukan empat orang saksi; jika tidak ada, maka Hadd Qadzf bisa dicegah dengan syarat ia bersumpah sebanyak empat kali bahwa ia berkata benar terhadap tuduhan zina itu dan kali kelimanya, ia melaknat dirinya sendiri seraya mengatakan, “Dan laknat Allah lah atasnya bila ia berdusta.” Dengan begitu, persaksian itu baru bisa diajukan bila sudah melengkapi empat orang saksi.
3. Hal itu, karena seorang laki-laki (suami) tidak mungkin berdiam saja ketika melihat isterinya melakukan perbuatan keji (zina) sebagaimana kalau ada orang melihatnya bersama wanita asing, sebab hal itu merupakan aib baginya (suami), pelanggaran terhadap kehormatannya dan perusak ranjangnya. Karena itu, ia tidak boleh menuduh isterinya kecuali setelah melakukan pengecekan sebab tindakannya itu biasanya didorong oleh faktor kecemburuan yang teramat sangat, sebab pada dasarnya, aib akan diterima mereka berdua (sebagai suami-isteri). Jadi, inilah yang menguatkan kebenaran klaimnya.
4. Hadits di atas menunjukkan bahwa Hilal bin Umayyah telah menuduh Syarik berzina dengan isterinya (Hilal) di mana Qadzf (tuduhan berzina) terhadap isteri hanya terungkap secara eksplisit.
5. Masalah ini diperselisihkan para ulama:
Dua Imam madzhab; Abu Hanifah dan Imam Malik memandang bahwa orang yang menuduh laki-laki lain berzina dengan isterinya, maka ia harus mengajukan bukti atas hal itu, sebab bila tidak, maka ia dikenakan hukuman Hadd.
Alasannya, karena hal itu merupakan tuduhan berzina terhadap orang yang seharusnya tidak perlu dituduh sehingga ia berada dalam posisi hukum asal Hadd Qadzf.
Ibn al-‘Arabi berkata, “Inilah makna zhahir dari al-Qur’an sebab Allah SWT meletakkan hukum Hadd bagi tuduhan berzina terhadap orang asing dan isteri secara mutlak, kemudian Dia mengkhususkan bagi isteri agar terhindar darinya dengan cara Li’an. Dengn begitu, makna mutlak ayat tersebut hanya terarah kepada orang asing itu. Ada pun kenapa nabi SAW tidak mengeksekusi Hadd terhadap Hilal setelah menuduh Syarik, sebab ia tidak memintanya padahal Hadd Qadzf itu hanya boleh ditegakkan oleh Imam setelah adanya permintaan menurut ijma’ ulama.”
Sementara dua Imam madzhab lagi; imam asy-Syafi’i dan Ahmad memandang bahwa bila suami menuduh isterinya berzina dengan laki-laki tertentu, kemudian ia melakukan Li’an, maka telah gugur atasnya Hadd dan jatuh kepada isterinya. Siapa yang menuduhnya (isterinya) berzina, maka dia harus menyebutkannya dalam Li’an atau tidak menyebutnya sebab Li’an membutuhkan bukti dari salah satu dari kedua belah pihak, sehingga ia menjadi bukti pada pihak yang lain seperti kedudukan persaksian. Jika suami tidak melakukan Li’an, maka bagi masing-masing dari suami dan laki-laki yang dituduh berzina dengan isterinya itu harus menuntut dilakukannya Hadd; siapa saja di antara keduanya yang meminta, maka ia sendiri yang dihukum Hadd dan tidak dapat dikenakan kepada yang belum memintanya.
Kedua imam itu (asy-Syafi’i dan Ahmad-red) berdalil dengan hadits yang kita kaji ini, sebab Hilal bin Umayyah menuduh Syarik berzina dengan isterinya (Hilal) namun Rasulullah SAW tidak menghukum Hadd atasnya. Sedangkan sabda beliau SAW kepada Hilal bin Umayyah, “(Tunjukkan) bukti, jika tidak maka hadd (hukuman cambuk) di punggungmu”, maka bukti di sini adalah persaksian-persaksian dalam Li’an yang posisinya sama dengan empat orang saksi. Walahu a’lam!
(SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Min Buluugh al-Maraam karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Jld.V, hal.302-303)
Derajat Hadits
Derajat hadits ini Shahih. Abu Ya’la berkata, “Para periwayatnya adalah para periwayat Tsiqat. Hadits ini memiliki Syahid (riwayat penguat) dari hadits Ibn Abbas RA di dalam shahih al-Bukhari yang di dalam shahih Muslim berasal dari hadits Anas.
Pelajaran Hadits
1. Secara hukum asal, siapa yang menuduh berzina terhadap laki-laki Muhshan (yang sudah beristeri), maka maka ia harus mengajukan bukti. Bukti dalam kasus zina adalah berupa persaksian empat orang laki-laki; bila tidak mengajukan bukti ini, maka orang tersebut (si penuduh) harus dikenakan hukum Hadd Qadzf sebanyak 80 kali cambuk. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka orang menuduh itu) delapan puluh kali dera…” (QS.an-Nur:4)
2. Terkecuali dari makna umum ayat di atas, kasus seorang laki-laki (suami) menuduh isterinya berzina; maka ia harus mengajukan empat orang saksi; jika tidak ada, maka Hadd Qadzf bisa dicegah dengan syarat ia bersumpah sebanyak empat kali bahwa ia berkata benar terhadap tuduhan zina itu dan kali kelimanya, ia melaknat dirinya sendiri seraya mengatakan, “Dan laknat Allah lah atasnya bila ia berdusta.” Dengan begitu, persaksian itu baru bisa diajukan bila sudah melengkapi empat orang saksi.
3. Hal itu, karena seorang laki-laki (suami) tidak mungkin berdiam saja ketika melihat isterinya melakukan perbuatan keji (zina) sebagaimana kalau ada orang melihatnya bersama wanita asing, sebab hal itu merupakan aib baginya (suami), pelanggaran terhadap kehormatannya dan perusak ranjangnya. Karena itu, ia tidak boleh menuduh isterinya kecuali setelah melakukan pengecekan sebab tindakannya itu biasanya didorong oleh faktor kecemburuan yang teramat sangat, sebab pada dasarnya, aib akan diterima mereka berdua (sebagai suami-isteri). Jadi, inilah yang menguatkan kebenaran klaimnya.
4. Hadits di atas menunjukkan bahwa Hilal bin Umayyah telah menuduh Syarik berzina dengan isterinya (Hilal) di mana Qadzf (tuduhan berzina) terhadap isteri hanya terungkap secara eksplisit.
5. Masalah ini diperselisihkan para ulama:
Dua Imam madzhab; Abu Hanifah dan Imam Malik memandang bahwa orang yang menuduh laki-laki lain berzina dengan isterinya, maka ia harus mengajukan bukti atas hal itu, sebab bila tidak, maka ia dikenakan hukuman Hadd.
Alasannya, karena hal itu merupakan tuduhan berzina terhadap orang yang seharusnya tidak perlu dituduh sehingga ia berada dalam posisi hukum asal Hadd Qadzf.
Ibn al-‘Arabi berkata, “Inilah makna zhahir dari al-Qur’an sebab Allah SWT meletakkan hukum Hadd bagi tuduhan berzina terhadap orang asing dan isteri secara mutlak, kemudian Dia mengkhususkan bagi isteri agar terhindar darinya dengan cara Li’an. Dengn begitu, makna mutlak ayat tersebut hanya terarah kepada orang asing itu. Ada pun kenapa nabi SAW tidak mengeksekusi Hadd terhadap Hilal setelah menuduh Syarik, sebab ia tidak memintanya padahal Hadd Qadzf itu hanya boleh ditegakkan oleh Imam setelah adanya permintaan menurut ijma’ ulama.”
Sementara dua Imam madzhab lagi; imam asy-Syafi’i dan Ahmad memandang bahwa bila suami menuduh isterinya berzina dengan laki-laki tertentu, kemudian ia melakukan Li’an, maka telah gugur atasnya Hadd dan jatuh kepada isterinya. Siapa yang menuduhnya (isterinya) berzina, maka dia harus menyebutkannya dalam Li’an atau tidak menyebutnya sebab Li’an membutuhkan bukti dari salah satu dari kedua belah pihak, sehingga ia menjadi bukti pada pihak yang lain seperti kedudukan persaksian. Jika suami tidak melakukan Li’an, maka bagi masing-masing dari suami dan laki-laki yang dituduh berzina dengan isterinya itu harus menuntut dilakukannya Hadd; siapa saja di antara keduanya yang meminta, maka ia sendiri yang dihukum Hadd dan tidak dapat dikenakan kepada yang belum memintanya.
Kedua imam itu (asy-Syafi’i dan Ahmad-red) berdalil dengan hadits yang kita kaji ini, sebab Hilal bin Umayyah menuduh Syarik berzina dengan isterinya (Hilal) namun Rasulullah SAW tidak menghukum Hadd atasnya. Sedangkan sabda beliau SAW kepada Hilal bin Umayyah, “(Tunjukkan) bukti, jika tidak maka hadd (hukuman cambuk) di punggungmu”, maka bukti di sini adalah persaksian-persaksian dalam Li’an yang posisinya sama dengan empat orang saksi. Walahu a’lam!
(SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Min Buluugh al-Maraam karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Jld.V, hal.302-303)