Kisah Hijrah Muslim Timor Timur

"Islam bagi saya adalah seni hidup,” kata seorang lelaki asal Timor Timur, Roberto Freitar (32 tahun). Sejak masuk Islam, dia telah mengganti namanya menjadi Hasan Basri, seperti nama mantan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Saat konflik di bekas provinsi ke-27 itu pecah tahun 1992 lalu, Hasan dan sejumlah rekannya memilih tetap menjadi warga negara Indonesia (WNI). Dia dan 11 rekannya pun hijrah ke Jawa. Di Timor Timur, tanah kelahirannya itu, suasananya tak nyaman lagi. Keputusannya meninggalkan Timor Timur, diibaratkannya seperti hijrahnya Nabi dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah sekitar 1.400 tahun silam. ”Dulu, kami adalah minoritas yang hidup di komunitas Nasrani yang besar,” katanya.

Hasan bersama warga eks Timor Timur lainnya, kini menempati Kampung Babakan, Desa Gunungmanik, Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat. Di sana, Hasan mendirikan Yayasan Le Morai yang menampung 63 anak yatim piatu dan sembilan kepala keluarga (KK).

Saat Republika berkunjung ke ‘kampung Timtim’ itu, pekan lalu, adzan Dzuhur sedang berkumandang. ”Saya mengambil sikap tidak akan kembali ke Timor Timur selamanya,” ujar Hasan yang ditemui menjelang shalat Dzuhur.

Sebelum meninggalkan Timor Timur, Hasan mengatakan para kerabatnya mengancam, ”Jangan kau macam-macam. Keluarga kau itu fanatik (Nasrani) semua.” Tapi, Hasan menegaskan menjadi WNI bukanlah keterpaksaan, melainkan pilihan untuk hidup lebih baik.

Mengenal Islam
Hasan mengenal Islam dari bapak angkatnya yang merupakan seorang tentara yang bertugas di Timor Timur. ”Saya selalu heran dengan bapak angkat saya, kenapa tiap kali saya mengisi air di baknya, air itu selalu cepat habis,” katanya.

Rupanya, air itu selalu dipakai bapak angkatnya untuk membasuh bagian-bagian tubuhnya. Proses yang kemudian dia kenal sebagai wudlu. Sang bapak angkat, cerita Hasan, adalah seorang Muslim yang taat. Ketertarikannya kepada Islam semakin bertambah ketika dia ikut guru-guru inpres yang berasal dari Gorontalo. Tak lama kemudian, hatinya terketuk untuk memeluk Islam.

Sekitar tahun 1980-an, Hasan dan delapan kawannya memberanikan diri menyeberang ke Makassar. Bukan untuk jalan-jalan, tapi untuk menimba ilmu Islam di sana. Pada 1990, saat konflik memanas, Cabang MUI Timor Timur memintanya kembali ke Dili. Pada 1992, ketika konflik kembali pecah, Hasan dan 12 orang lainnya bertolak lagi dari Timor Timur, menuju tanah Jawa. Sampai dengan 1997, dia masih sering mengunjungi wilayah bekas jajahan Portugis itu. Tapi, setelah itu dia berjanji tak akan kembali lagi.

Tapi, Hasan tak ditakdirkan sendiri. Pada 1998, istri dan sejumlah sanak keluarganya menyusulnya meninggalkan Timor Timur. Jumlah totalnya 270 jiwa. Ada yang ke tempat Hasan, ada yang ke Madura, ada pula yang menjadi transmigran di Palembang.

Mendirikan masjid
Dalam pengembaraannya di tanah Jawa, Hasan membeli sebidang tanah di Sumedang. Bangunan pertama yang dia dirikan di atasnya adalah sebuah masjid. Namanya Masjid Latiful Muhtadin. Arti bebasnya, orang-orang yang mendapat petunjuk yang lembut.

Selain Latiful Muhtadin, Hasan dan para mualaf yang berhijrah itu, juga membangun Masjid Al Hasan. Kini Latiful Muhtadin diperuntukkan bagi akhwat (wanita), sedangkan Al Hasan untuk ikhwan (pria). Masjid-masjid itu digunakan untuk beribadah warga setempat. Doktrin Islam yang mempersaudarakan Muslim dari manapun asal dan rasnya, membuat Hasan dan warga eks-Timor Timur itu cepat membaur dengan warga setempat. ”Alhamdulillah, saat ini semua warga telah hidup berdampingan dengan kami,” kata Hasan.

Mulanya, keberadaan Hasan dan warga eks Timor Timur sempat dicurigai warga setempat. Tapi, setelah pada 2002/2003 lalu dilakukan pendataan warga eks-Timtim dan nyata bahwa mereka memang WNI, persoalan pun menjadi terang benderang. Warga asli Kampung Babakan, Cece, mengungkapkan sejak 2002, warga setempat menerima Hasan dan warga eks-Timor Timur itu dengan tangan terbuka. Bahkan, kata Cece, Yayasan Le Morai menjadi tempat warga setempat meminta saran dan pendapat.

Saat peringatan Maulid beberapa waktu lalu, warga asli dan pendatang itu juga bahu-membahu menggelar tabligh akbar. ”Ini adalah bentuk syiar Islam yang kami jalankan,” kata Cece. Selain masjid, Hasan dan para sahabatnya juga mengembangkan pendidikan Islam di Babakan. ”Konsep yang saya kembangkan di sini adalah persatuan, kebersamaan, dan pembentukan pribadi Muslim yang baik,” kata Hasan.

Ilmu Islam yang pernah ia pelajari selama lima tahun enam bulan di Pesantren Darul Istiqomah, Macupa, Maros, Sulawesi Selatan, kini dia tularkan melalui yayasan yang dipimpinnya. Ada lima pengajar di sana. Yayasan yang mengandalkan ‘dana insidental’ tersebut, bahkan menjadi tempat membina preman setempat. Mereka tak hanya diajari mengaji, tapi juga bahasa Arab, Inggris, dan konsep surat-menyurat.

Hasan memang bercita-cita mendirikan sebuah pesantren, SMA, dan majelis taklim. Kerja sama telah dia jalin dengan berbagai instansi di Sumedang dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Tinggal menunggu harapan itu terwujud. (fkr/riol)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel