Mengambil Uang Suami Untuk Cukupi Kebutuhan Belanja Keluarga
Minggu, Oktober 07, 2012
Mukkaddimah
Dalam kehidupan rumah tangga, suami sekaligus sebagai ayah bagi anak-anaknya bertindak sebagai orang yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup rumah tangga melalui nafkah alias uang belanja yang ia berikan kepada sang isteri sekaligus sang ibu bagi anak-anaknya.
Terkadang, terdapat kendala dalam rumah tangga yang terkait dengan sifat ‘buruk’ seorang suami sekaligus sang ayah ini di mana sekali pun kehidupannya sudah mapan, misalnya, ia begitu kikir dan pelit untuk mengeluarkan ‘kocek’ yang tak lain nafkah yang wajib diberikannya kepada keluarganya tersebut. Akibatnya, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari terkadang sang isteri sekaligus sang ibu harus ekstra berhemat agar uang yang diberikan tersebut cukup untuk belanja.
Tetapi, ada kalanya sekali pun sudah menghemat sedemikian rupa, karena demikian meningkatnya kebutuhan dan semakin beranjak mahalnya harga barang-barang, uang belanja dari sang suami ini dirasakan kurang bahkan sangat kurang.
Nah, dalam kondisi seperti ini, apa yang harus dilakukan sang isteri? Bolehkah ia mengambil uang suami tanpa sepengetahuannya demi mencukupi kebutuhan tersebut? Bila boleh, seberapa besarkah nilai uang belanja yang boleh diambilnya?
Dalam kajian hadits kali ini, kita akan membahas permasalahan rumah tangga yang tidak sedikit dihadapi oleh para isteri ini. Silahkan dibaca!!
Naskah Hadits
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Hindun Binti ‘Utbah, isteri Abu Sufyan menemui Rasulullah SAW seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit (kikir), tidak memberikan nafkah kepadaku dengan nafkah yang mencukupi untukku dan anakku kecuali dari apa yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena hal itu.?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ambillah dari hartanya dengan cara ‘ma’ruf’ apa yang cukup buatmu dan anakmu.’” (Muttafaqun ‘alaih)
KOSA KATA
Makna Ma’ruf : Tradisi dan adat, yakni sesuai dengan kondisi manusia dan tradisi yang berlaku di antara sesama mereka yang berbeda-beda dari sisi waktu, tempat, kemudahan dan kesulitan.
INTISARI HADITS
Dari hadits di atas, para ulama menyerap banyak sekali hukum, di antaranya:
1. Wajibnya memberi nafkah (uang belanja) kepada isteri dan anak-anak. Nafkah ini diemban secara khusus atas seorang ayah (suami) dan tidak dapat dibebankan kepada sang ibu (isteri) atau kerabat dekat.
2. Ukuran nafkah itu disesuaikan dengan kondisi keuangan sang suami dan orang yang menafkahi, dilihat dari aspek kekayaan, kefakiran dan kemudahan rizkinya.
3. Nafkah itu hendaknya berlaku secara ma’ruf. Artinya sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku dan ini tentunya berbeda-beda dari sisi waktu, tempat dan kondisi manusia.
4. Siapa yang sudah diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah, namun tidak memberi nafkah kecuali dengan sangat bakhil, maka boleh diambil dari hartanya walalu pun tanpa sepengetahuannya sebab ia merupakan nafkah yang wajib atasnya.
5. Sebagai pihak yang bertanggung jawab atas hajat orang banyak (sebagai penguasa), maka penentuan ukuran besarnya nafkah itu ditentukan menurut pendapatnya sebab ia lah orang yang diberi amanah dan memiliki kekuasaan (berwenang) atas hal itu.
6. Para ulama berbeda pendapat mengenai: apakah perintah Nabi SAW kepada Hindun untuk mengambil harta suaminya itu dinilai sebagai suatu putusan hukum sehingga kondisi ini adalah dalam rangka putusan hukum berdasarkan kejadian yang dominan, ataukah ia dinilai sebagai fatwa? Para ulama mengatakan, kisah Hindun ini mengandung dua kondisi antara keduanya; ia sebagai fatwa sekali gus juga putusan hukum. Tetapi kondisinya sebagai fatwa lebih dekat (tepat) sebab beliau SAW tidak menuntutnya (Hindun) untuk menghadirkan alat bukti atau memintanya agar bersumpah padahal Abu Sufyan sendiri masih ada di tempat alias tidak sedang ke luar kota. Sedangkan bila memang ia sebagai putusan hukum, maka semestinya dihadiri oleh kedua orang yang bersengketa tetapi dalam hadits itu, tidak terjadi (alias yang hadir hanya Hindun, isteri Abu Sufyan)
8. Pengaduan seperti itu dan semisalnya bukanlah merupakan benuk ghibah (gunjingan) yang diharamkan sebab Hindun mengadukan perkaranya kepada pihak yang berwenang (Rasulullah SAW), yang mampu berlaku adil terhadapnya serta dapat menghilangkan kezhaliman yang dialaminya.
9. Hadits tersebut mengandung makna umum, yaitu wajibnya memberi nafkah kepada anak-anak sekali pun mereka sudah besar (dewasa). Allah berfirman, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (QS.al-Baqarah:233)
10. Hadits tersebut merupakan bukti bahwa orang yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan pemenuhan sesuatu yang sudah menjadi haknya, maka ia boleh mengambilnya sekali pun dengan cara diam-diam. Hal ini diistilahkan para ulama dengan masalah Zhafar, yang merupakan masalah khilafiyyah (yang masih diperselisihkan). Dalam hal ini, Imam asy-Syafi’i dan Ahmad membolehkannya sementara Imam Abu Hanifah dan Malik melarangnya. Pendapat yang kuat (rajih) adalah harus dirinci dulu; Artinya, bila sebab adanya hak itu memang jelas dan terang, maka si punya hak boleh mengambilnya karena sudah tidak ada syubhat lagi, sedangkan bila sebabnya masih samar, maka tidak boleh agar ia tidak dituduh melanggar hak orang lain.
(SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Syarh Bulugh al-Maraam karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, Jld.V, hal.131-132)
Dalam kehidupan rumah tangga, suami sekaligus sebagai ayah bagi anak-anaknya bertindak sebagai orang yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup rumah tangga melalui nafkah alias uang belanja yang ia berikan kepada sang isteri sekaligus sang ibu bagi anak-anaknya.
Terkadang, terdapat kendala dalam rumah tangga yang terkait dengan sifat ‘buruk’ seorang suami sekaligus sang ayah ini di mana sekali pun kehidupannya sudah mapan, misalnya, ia begitu kikir dan pelit untuk mengeluarkan ‘kocek’ yang tak lain nafkah yang wajib diberikannya kepada keluarganya tersebut. Akibatnya, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari terkadang sang isteri sekaligus sang ibu harus ekstra berhemat agar uang yang diberikan tersebut cukup untuk belanja.
Tetapi, ada kalanya sekali pun sudah menghemat sedemikian rupa, karena demikian meningkatnya kebutuhan dan semakin beranjak mahalnya harga barang-barang, uang belanja dari sang suami ini dirasakan kurang bahkan sangat kurang.
Nah, dalam kondisi seperti ini, apa yang harus dilakukan sang isteri? Bolehkah ia mengambil uang suami tanpa sepengetahuannya demi mencukupi kebutuhan tersebut? Bila boleh, seberapa besarkah nilai uang belanja yang boleh diambilnya?
Dalam kajian hadits kali ini, kita akan membahas permasalahan rumah tangga yang tidak sedikit dihadapi oleh para isteri ini. Silahkan dibaca!!
Naskah Hadits
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Hindun Binti ‘Utbah, isteri Abu Sufyan menemui Rasulullah SAW seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit (kikir), tidak memberikan nafkah kepadaku dengan nafkah yang mencukupi untukku dan anakku kecuali dari apa yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena hal itu.?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ambillah dari hartanya dengan cara ‘ma’ruf’ apa yang cukup buatmu dan anakmu.’” (Muttafaqun ‘alaih)
KOSA KATA
Makna Ma’ruf : Tradisi dan adat, yakni sesuai dengan kondisi manusia dan tradisi yang berlaku di antara sesama mereka yang berbeda-beda dari sisi waktu, tempat, kemudahan dan kesulitan.
INTISARI HADITS
Dari hadits di atas, para ulama menyerap banyak sekali hukum, di antaranya:
1. Wajibnya memberi nafkah (uang belanja) kepada isteri dan anak-anak. Nafkah ini diemban secara khusus atas seorang ayah (suami) dan tidak dapat dibebankan kepada sang ibu (isteri) atau kerabat dekat.
2. Ukuran nafkah itu disesuaikan dengan kondisi keuangan sang suami dan orang yang menafkahi, dilihat dari aspek kekayaan, kefakiran dan kemudahan rizkinya.
3. Nafkah itu hendaknya berlaku secara ma’ruf. Artinya sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku dan ini tentunya berbeda-beda dari sisi waktu, tempat dan kondisi manusia.
4. Siapa yang sudah diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah, namun tidak memberi nafkah kecuali dengan sangat bakhil, maka boleh diambil dari hartanya walalu pun tanpa sepengetahuannya sebab ia merupakan nafkah yang wajib atasnya.
5. Sebagai pihak yang bertanggung jawab atas hajat orang banyak (sebagai penguasa), maka penentuan ukuran besarnya nafkah itu ditentukan menurut pendapatnya sebab ia lah orang yang diberi amanah dan memiliki kekuasaan (berwenang) atas hal itu.
6. Para ulama berbeda pendapat mengenai: apakah perintah Nabi SAW kepada Hindun untuk mengambil harta suaminya itu dinilai sebagai suatu putusan hukum sehingga kondisi ini adalah dalam rangka putusan hukum berdasarkan kejadian yang dominan, ataukah ia dinilai sebagai fatwa? Para ulama mengatakan, kisah Hindun ini mengandung dua kondisi antara keduanya; ia sebagai fatwa sekali gus juga putusan hukum. Tetapi kondisinya sebagai fatwa lebih dekat (tepat) sebab beliau SAW tidak menuntutnya (Hindun) untuk menghadirkan alat bukti atau memintanya agar bersumpah padahal Abu Sufyan sendiri masih ada di tempat alias tidak sedang ke luar kota. Sedangkan bila memang ia sebagai putusan hukum, maka semestinya dihadiri oleh kedua orang yang bersengketa tetapi dalam hadits itu, tidak terjadi (alias yang hadir hanya Hindun, isteri Abu Sufyan)
8. Pengaduan seperti itu dan semisalnya bukanlah merupakan benuk ghibah (gunjingan) yang diharamkan sebab Hindun mengadukan perkaranya kepada pihak yang berwenang (Rasulullah SAW), yang mampu berlaku adil terhadapnya serta dapat menghilangkan kezhaliman yang dialaminya.
9. Hadits tersebut mengandung makna umum, yaitu wajibnya memberi nafkah kepada anak-anak sekali pun mereka sudah besar (dewasa). Allah berfirman, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (QS.al-Baqarah:233)
10. Hadits tersebut merupakan bukti bahwa orang yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan pemenuhan sesuatu yang sudah menjadi haknya, maka ia boleh mengambilnya sekali pun dengan cara diam-diam. Hal ini diistilahkan para ulama dengan masalah Zhafar, yang merupakan masalah khilafiyyah (yang masih diperselisihkan). Dalam hal ini, Imam asy-Syafi’i dan Ahmad membolehkannya sementara Imam Abu Hanifah dan Malik melarangnya. Pendapat yang kuat (rajih) adalah harus dirinci dulu; Artinya, bila sebab adanya hak itu memang jelas dan terang, maka si punya hak boleh mengambilnya karena sudah tidak ada syubhat lagi, sedangkan bila sebabnya masih samar, maka tidak boleh agar ia tidak dituduh melanggar hak orang lain.
(SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Syarh Bulugh al-Maraam karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, Jld.V, hal.131-132)