Mengenal Tanda-Tanda Munafik (2-2)
Minggu, Oktober 07, 2012
Pada kajian sebelumnya telah dibahas mengenai definisi ‘Nifaq’, jenis-jenisnya dan penjelasan makna hadits. Sekarang kita ikuti kajian selanjutnya!
3. Perbedaan Para Ulama
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menepati janji dalam 3 pendapat:
PERTAMA, Menepati janji hukumnya Mustahab (dianjurkan), bukan wajib, baik dari aspek keagamaan mau pun penunaian. Ini adalah pendapat Jumhur ulama, yaitu tiga imam madzhab; Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad.
Al-Hafizh Ibn Hajar RAH berkata, “Meriwayatkan hal itu sebagai ijma’ tidak dapat diterima (ditolak) sebab perbedaan mengenainya amat masyhur akan tetapi yang mengatakan demikian sedikit.
Mereka berdalil dengan beberapa dalil, di antaranya:
1. Hadits yang dikeluarkan Ibn Majah dan Abu Daud (yang menilainya Hasan), bahwasanya nabi SAW bersabda, “Bila salah seorang di antara kamu berjanji kepada saudaranya sementara di dalam niatnya akan menepatinya namun tidak dapat menepatinya, maka tidak ada dosa baginya.”
2. Bila seorang laki-laki berjanji, bersumpah dan ber-istitsna’ (bersumpah dengan menggunakan kata; insya Allah setelah sumpah tersebut), maka menurut nash dan ijma’ pelanggaran terhadap sumpahnya telah gugur (tidak dinilai melanggar sumpah). Ini merupakan dalil gugurnya janji dari penjanji tersebut.
KE-DUA, Tidak harus menepati janji baik dari aspek keagamaan mau pun penunaian. Ini adalah pendapat Ibn Syubrumah, yaitu madzhab sebagian ulama Salaf seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, al-Hasan al-Bashori, Ishaq bin Rahawaih dan Zhahiriah.
Pendapat ini berdalil dengan nash-nash dari al-Qur’an dan hadits, di antaranya:
1. Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad* itu.” (QS.al-Maa’idah:1) Dan firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat.? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS.ash-Shaff:3-4), dan ayat-ayat lainnya.
2. Di dalam kitab ash-Shahihain dari nabi SAW, beliau bersabda, “Tanda orang munafiq ada tiga…” Di antaranya disebutkan: bila berjanji, ia berdusta. Dengan begitu, mengingkari perjanjjan merupakan salah satu sifat orang-orang munafik sehingga ia diharamkan.
3. Hadits yang dikeluarkan at-Turmudzi, bahwa nabi SAW bersabda, “Jangan berdebat dengan saudaramu, jangan mencandainya dan berjanji padanya lalu kemudian kamu mengingkari (melanggar)nya.”
KE-TIGA, Merinci; wajib menepatinya bila janji tersebut ada sebabnya seperti bila ia diperintahkan melakukan pembelian barang atau melakukan suatu proyek; bila orang yang diberi janji melakukan tindakan kesalahan, maka penjanji boleh menarik janjinya. Dalam hal ini, wajib memenuhi janji secara keagamaan mau pun penunaian.
Ada pun bila tidak terjadi hal yang merugikan terhadap orang yang diberi janji dengan ditariknya janji tersebut, maka janji itu tidak lagi menjadi keharusan.
Dalil Pendapat Ini:
Bahwa nash-nash syari’at dalam masalah ini saling bertabrakan. Dan apa yang disebutkan di atas adalah cara penggabungan (sinkronisasi) paling baik.
Pendapat Syaikh asy-Syanqithi
Pengarang tafsir “Adhwaa’ al-Bayaan” di dalam tafsirnya mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat mengenai keharusan menepati janji; sebagian mereka mengatakan, harus memenuhinya secara mutlak. Sebagian lagi mengatakan, tidak harus secara mutlak. Sedangkan sebagian yang lain, bila dengan berjanji itu membuat orang yang diberi janji berada dalam kesulitan (bahaya), maka harus memenuhinya tetapi bila tidak demikian, maka menjadi tidak harus lagi.
Abu Hanifah dan para sahabatnya, imam al-Awza’i dan asy-Syafi’i serta seluruh ulama fiqih mengatakan, sesungguhnya tidak ada keharusan apa pun terhadap janji sebab ia hanya merupakan jasa yang tidak berada dalam pegangan, sama seperti masalah ‘Ariyah** yang bersifat dadakan.
Pendapat yang jelas bagiku, bahwa mengingkari janji tidak boleh sebab ia merupakan salah satu tanda kemunafikan akan tetapi bila penjanji menolak untuk memenuhi janjinya, maka tidak dapat dituntut hukuman apa pun terhadapnya dan tidak harus dipaksa pula. Tetapi ia mesti diperintahkan untuk memenuhinya, tidak dipaksa.”
Pendapat Ulama Kontemporer
Di antara ulama kontemporer yang menyatakan keharusan memenuhi janji adalah Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Abdurrahman bin Qasim, Mushthafa az-Zarqa’, Yusuf al-Qaradhawi dan ulama lainnya.
Keputusan Mujamma’ Fiqih Islam
Mujamma’ Fiqih Islam di Jeddah dalam keputusan bernomor 2, pada daurah ke-5 yang diadakan di Kuwait periode 1-6 Jumadal Ula 1409 H memutuskan sebagai berikut:
“Menepati janji menjadi suatu keharusan bagi penjanji secara keagamaan kecuali bila ada ‘udzur. Ia harus memenuhinya dari sisi penunaian bila terkait dengan sebab dan orang yang diberi janji menghadapi kesulitan akibat janji tersebut. Pengaruh komitmen terhadap kondisi ini dapat dilakukan, baik dengan cara melaksanakan janji tersebut atau mengganti kerugian yang timbul secara langsung akibat tidak dipenuhinya janji tersebut tanpa ‘udzur.”
CATATAN:
* Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah SSWT dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam perjanjian sesamanya
** Ulama fiqih mendefinisikannya, ‘Tindakan pemilik barang yang membolehkan penggunaan barang miliknya kepada orang lain tanpa kompensasi apa pun.’ [Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah-red]
(SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Min Buluugh al-Maraam karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, Jld.VI, hal.311-314)
3. Perbedaan Para Ulama
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menepati janji dalam 3 pendapat:
PERTAMA, Menepati janji hukumnya Mustahab (dianjurkan), bukan wajib, baik dari aspek keagamaan mau pun penunaian. Ini adalah pendapat Jumhur ulama, yaitu tiga imam madzhab; Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad.
Al-Hafizh Ibn Hajar RAH berkata, “Meriwayatkan hal itu sebagai ijma’ tidak dapat diterima (ditolak) sebab perbedaan mengenainya amat masyhur akan tetapi yang mengatakan demikian sedikit.
Mereka berdalil dengan beberapa dalil, di antaranya:
1. Hadits yang dikeluarkan Ibn Majah dan Abu Daud (yang menilainya Hasan), bahwasanya nabi SAW bersabda, “Bila salah seorang di antara kamu berjanji kepada saudaranya sementara di dalam niatnya akan menepatinya namun tidak dapat menepatinya, maka tidak ada dosa baginya.”
2. Bila seorang laki-laki berjanji, bersumpah dan ber-istitsna’ (bersumpah dengan menggunakan kata; insya Allah setelah sumpah tersebut), maka menurut nash dan ijma’ pelanggaran terhadap sumpahnya telah gugur (tidak dinilai melanggar sumpah). Ini merupakan dalil gugurnya janji dari penjanji tersebut.
KE-DUA, Tidak harus menepati janji baik dari aspek keagamaan mau pun penunaian. Ini adalah pendapat Ibn Syubrumah, yaitu madzhab sebagian ulama Salaf seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, al-Hasan al-Bashori, Ishaq bin Rahawaih dan Zhahiriah.
Pendapat ini berdalil dengan nash-nash dari al-Qur’an dan hadits, di antaranya:
1. Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad* itu.” (QS.al-Maa’idah:1) Dan firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat.? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS.ash-Shaff:3-4), dan ayat-ayat lainnya.
2. Di dalam kitab ash-Shahihain dari nabi SAW, beliau bersabda, “Tanda orang munafiq ada tiga…” Di antaranya disebutkan: bila berjanji, ia berdusta. Dengan begitu, mengingkari perjanjjan merupakan salah satu sifat orang-orang munafik sehingga ia diharamkan.
3. Hadits yang dikeluarkan at-Turmudzi, bahwa nabi SAW bersabda, “Jangan berdebat dengan saudaramu, jangan mencandainya dan berjanji padanya lalu kemudian kamu mengingkari (melanggar)nya.”
KE-TIGA, Merinci; wajib menepatinya bila janji tersebut ada sebabnya seperti bila ia diperintahkan melakukan pembelian barang atau melakukan suatu proyek; bila orang yang diberi janji melakukan tindakan kesalahan, maka penjanji boleh menarik janjinya. Dalam hal ini, wajib memenuhi janji secara keagamaan mau pun penunaian.
Ada pun bila tidak terjadi hal yang merugikan terhadap orang yang diberi janji dengan ditariknya janji tersebut, maka janji itu tidak lagi menjadi keharusan.
Dalil Pendapat Ini:
Bahwa nash-nash syari’at dalam masalah ini saling bertabrakan. Dan apa yang disebutkan di atas adalah cara penggabungan (sinkronisasi) paling baik.
Pendapat Syaikh asy-Syanqithi
Pengarang tafsir “Adhwaa’ al-Bayaan” di dalam tafsirnya mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat mengenai keharusan menepati janji; sebagian mereka mengatakan, harus memenuhinya secara mutlak. Sebagian lagi mengatakan, tidak harus secara mutlak. Sedangkan sebagian yang lain, bila dengan berjanji itu membuat orang yang diberi janji berada dalam kesulitan (bahaya), maka harus memenuhinya tetapi bila tidak demikian, maka menjadi tidak harus lagi.
Abu Hanifah dan para sahabatnya, imam al-Awza’i dan asy-Syafi’i serta seluruh ulama fiqih mengatakan, sesungguhnya tidak ada keharusan apa pun terhadap janji sebab ia hanya merupakan jasa yang tidak berada dalam pegangan, sama seperti masalah ‘Ariyah** yang bersifat dadakan.
Pendapat yang jelas bagiku, bahwa mengingkari janji tidak boleh sebab ia merupakan salah satu tanda kemunafikan akan tetapi bila penjanji menolak untuk memenuhi janjinya, maka tidak dapat dituntut hukuman apa pun terhadapnya dan tidak harus dipaksa pula. Tetapi ia mesti diperintahkan untuk memenuhinya, tidak dipaksa.”
Pendapat Ulama Kontemporer
Di antara ulama kontemporer yang menyatakan keharusan memenuhi janji adalah Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Abdurrahman bin Qasim, Mushthafa az-Zarqa’, Yusuf al-Qaradhawi dan ulama lainnya.
Keputusan Mujamma’ Fiqih Islam
Mujamma’ Fiqih Islam di Jeddah dalam keputusan bernomor 2, pada daurah ke-5 yang diadakan di Kuwait periode 1-6 Jumadal Ula 1409 H memutuskan sebagai berikut:
“Menepati janji menjadi suatu keharusan bagi penjanji secara keagamaan kecuali bila ada ‘udzur. Ia harus memenuhinya dari sisi penunaian bila terkait dengan sebab dan orang yang diberi janji menghadapi kesulitan akibat janji tersebut. Pengaruh komitmen terhadap kondisi ini dapat dilakukan, baik dengan cara melaksanakan janji tersebut atau mengganti kerugian yang timbul secara langsung akibat tidak dipenuhinya janji tersebut tanpa ‘udzur.”
CATATAN:
* Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah SSWT dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam perjanjian sesamanya
** Ulama fiqih mendefinisikannya, ‘Tindakan pemilik barang yang membolehkan penggunaan barang miliknya kepada orang lain tanpa kompensasi apa pun.’ [Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah-red]
(SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Min Buluugh al-Maraam karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, Jld.VI, hal.311-314)